Senin, 22 Juli 2013

Galau Ala2 Relawan

Assalamualaikum... Hari ini (kemarin,pen) saya membaca sebuah harian lokal, dengan head line : Moramo Masih Mandi Lumpur. Saya jadi ingat ‘’utang’’ tulisan saat Saya dan dua rekan lainnya melakukan perjalanan ala ala relawan banjir ke wilayah tersebut. Yap, tanggal 19 Juli lalu kami berangkat ke Moramo dengan tujuan membagikan bantuan ala kadarnya hasil kemurahan hati teman-teman yang masih peduli dengan penderitaan para korban banjir. Kami tidak berada di bawah bendera apapun, hanya dituntun oleh kepedulian serta hati nurani yang miris. Berdasarkan laporan seorang teman yang sempat ke sana sebelumnya, banjir di Moramo memang parah. Diperparah lagi bantuan yang belum sampai disana. Jadilah kami bertiga memakai dress code relawan yang semoga saja tidak kesiangan.


Kami berangkat memang sudah agak siang (jam 11an krn beberapa kali kami singgah mengambil bantuan lain, atau membeli tambahannya), ditambah lagi Ilman harus singgah jumatan, dan saya juga salat di rumah salah seorang warga, maka kami sampai di Desa Lamokula, Kecamatan Moramo Selatan sekitar pukul 13.30 WITA. Dari jauh kami sudah bisa melihat tanda-tanda kalau desa itu parah banjirnya. Pohon-pohon yang harusnya hijau, justru menjadi coklat bersalut sisa lumpur. Rumah pertama yang kami dapati berada di depan jalan poros, kacau se kacau acaunya. Halaman penuh lumpur, barang-barang berupa pakaian basah, alat-alat rumah tangga dan sebagainya berserakan di depan rumah. Meski rumah itu bermodel panggung ternyata ketinggian air mencapai pintu masuk rumah. Bisa dibayangkan, kan ?itu artinya air banjir mencapai kurang lebih 6-7 meter, saudara-saudara!!

Selanjutnya kami maju ke rumah-rumah lainnya. Tidak mau kalah kacau, dibagian ini kami pun mendapati kesemrawutan akibat ulah banjir nan menggemaskan. Lumpur semata kaki nampak lengket disekujur tubuh para warga yang mulai membersihkan rumahnya (saya ndak ngerti harus dari mana membersihkan rumah dengan kondisi mengenaskan itu). Mereka mencoba mengusir lumpur dengan menyiramnya menggunakan air kali yang keruh. Hasilnya tentu tidak maksimal , namun hanya itu yang bisa mereka lakukan agar harapan segera menempati rumah mereka lagi dapat terwujud. Yang lebih mengenaskan lagi, Nampak beberapa rumah yang bergeser dari pondasinya. Ada juga rumah papan yang miring, bahkan ada kios yang jungkir balik akibat air bah. Konon ketika banjir mencapai puncaknya, warga sampai harus naik ke atas atap rumah karena air terus meninggi. Mereka dijemput dengan perahu menuju ke pengungsian. Epic mereka tak hanya sampai disitu. Usai banjir mereda, mereka harus bertempur melawan lumpur. Pagi mereka membersihkan rumah, dan jelang malam hari mereka kembali ke pengungsian yang ada di sekolah-sekolah, rumah penduduk yang tak terkena banjir, bahkan ada yang mendirikan tenda darurat seadanya di tempat yang terbilang cukup tinggi dan aman. Beberapa kali saya menarik nafas panjang mencoba membebaskan rasa sedih yang terkurung di dada. Sesak. Bahkan Mbak Cahaya, yang ternyata lebih melankolis, tidak bisa membendung air mata melihat penderitaan mereka.
Sadar kalau kami datang menbawa bantuan, mereka tanpa malu-malu segera menghampiri, menerima pakaian, mie instan, ikan kaleng,beras, sarung dan selimut yang kami bagikan. Kami mencoba menyambung rasa dengan mereka, bertanya bagaimana kondisinya (meski tahu jawaban yang diperoleh seperti apa *penuh keluhan*), apa saja yang mereka butuhkan, dan membiarkan beberapa diantara mereka mereka ulang kronologis banjir terbesar itu. Usai membagikan semua bantuan yang kami bawa, perlahan kami beranjak dari Desa Lamokula. Perjalanan pulang kami isi dengan janji hati kami akan kembali dengan bantuan yang lebih banyak, dan lebih rinci sesuai kebutuhan mereka. Kami menyadari, kami tak bisa bergerak sendiri. Perlu lebih banyak tangan yang terulur agar kebutuhan mereka bisa lebih terpenuhi utamanya di masa-masa memprihatinkan seperti sekarang.

***Malam itu, sepulang dari episode relawan,hujan turun lagi. Badanku berbaring di atas kasur, namun pikiranku melayang ke Desa Lamokula. Jangankan menikmati kasur empuk untuk melepas kepenatan mereka malam ini, justru mereka pasti tengah galau berselimut trauma bilakah banjir datang lagi. Kegalauan makin mendera,berbanding lurus dengan hujan yang makin menderas***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar